Bismillahhirrahmannirrahim..
Assalamualaikum.. sahabat RDM…
Hari itu penuh senyum, derai tawa, dan bahagia. Inilah Rumah Dongeng Mentari (RDM), sebuah rumah belajar yang dikelola secara independen oleh 3 mahasiswa, yang notabene disebut-sebut sebagai agent of change, untuk melakukan perubahan pada lingkungan sekitar yang dekat dengan mereka.
Dari sebuah niat sederhana, memaksimalkan kemampuan anak sejak dini. Tepat pada tanggal 2 Agustus 2010, Rumah Dongeng Mentari dibuka. Kurang lebih 20an anak hadir pada pembukaan RDM siang itu. Suasana begitu meriah layaknya pesta ulangtahun. Tidak ada kesedihan yang ada hanyalah ekspresi bahagia dari setiap anak yang datang.
Satu demi satu kutatap wajah-wajah polos mereka. Alhamdulillah, kataku dalam hati. Akhirnya rencana-rencana yang kami tuliskan mulai menjadi kenyataan. Menjadi speaker di RDM merupakan salah satu kegiatanku selama 3 bulan belakangan ini. Luar biasa, sedikit kata yang mampu merangkum begitu banyak peristiwa yang terjadi didalamnya. Dari mulai bercanda, tertawa, dicuekin, sampai tidak dianggap sama sekali sudah menjadi hal biasa yang harus aku hadapi.
Pernah suatu kali, ada kejadian yang cukup membuatku merasa tertampar. Pada hari itu, kegiatan RDM adalah menceritakan kembali tentang kisah apapun dari buku yang mereka baca. Aku lihat pasukan (sebutan untuk anak-anak yang belajar di RDM) sedang serius membaca buku. Namun ada salah satu anak yang justru masih asyik bermain kesana kemari.
Dia bernama Balif, seorang anak yang tinggal tidak jauh dari rumahku, sekarang dia berumur 8 tahun, seharusnya sekarang dia sudah duduk di bangku kelas 2 SD, namun dia tidak melanjutkan sekolahnya saat ini. Belakangan, aku baru tau kalau ternyata dia tidak sekolah karena dikeluarkan oleh pihak sekolah dengan alasan kenakalannya yang mengganggu teman-temannya yang lain. Hal ini yang mungkin menjadi penyebab mengapa guru-guru sudah angkat tangan menghadapi dia.
Alhasil, karena kelakuannya yang mengganggu teman lain yang sedang serius membaca, Balif pun ku ajak untuk membaca. Kuambilkan salah satu buku, dan kubuka tepat pada halaman yang berisi kisah.
“Ayok dibaca,” kataku pada Balif. Namun, tidak ada respon sama sekali. Kutunggu 5 sampai 10 detik, tetap juga tidak ada kata-kata yang terucap dari bibir mungilnya. Setelah sedikit kupaksa, akhirnya keluarlah kata-kata dari mulutnya. “Raiso aku, Mbak”. (dalam bahasa Indonesia berarti “Tidak bisa aku, Mbak.”) Awalnya aku pikir ini hanyalah kalimat spontan yang biasa keluar dari seorang anak ketika malas mengerjakan sesuatu. Kuberi sedikit nasehat layaknya orangtua yang sedang mengajarkan anaknya, namun dia malah menunduk lesu dan terdiam. Aku mulai berpikir ada sesuatu yang ia coba tutupi.
Setelah kurayu, lebih tepatnya kupaksa dengan persuasive. Akhirnya dia pun mulai membaca, tetapi dengan terbata-bata. Spontan aku langsung terdiam dan raut mukaku berubah sedih. Ya Tuhan, dia tidak bisa membaca, batinku. Tak pernah kubayangkan, saat ini, di jaman globalisasi yang semua serba modern, masih ada anak yang tidak bisa membaca. Antara menyesal, sedih, ironis, semua jadi satu. Kemana saja aku? Sudah lebih dari 15 tahun aku tinggal tak jauh dari rumahnya, baru sekarang aku tahu. Apa karena aku terlalu sibuk? Sampai-sampai aku acuh tak acuh pada lingkunganku sendiri?
Mataku mulai berkaca-kaca. Air mataku menggenang di pelupuk mata seakan mau tumpah. Namun, segera kututupi perasaan yang berkecamuk di hati dan pikiranku saat itu. Kuseka air mataku yang hampir terjatuh, dan kulanjutkan percakapanku dengan Balif seakan tidak terjadi apa-apa.
“Sekarang Mbak Ayu tulis hurufnya, nanti setelah itu Balif yang baca ya,”kataku pada Balif sambil mencoba menenangkan diri. Aku mulai menuliskan huruf-huruf, dan kuajarkan dia untuk mengikutiku bagaimana bunyinya. Begitu seterusnya, sampai dia mulai membaca sedikit demi sedikit kata-kata yang kutuliskan.
Terimakasih Tuhan, telah Engkau tuliskan cerita-cerita indah ini dalam alkitab hidupku. Cerita lucu mereka, cerita konyol mereka, cerita yang membuatku jengkel setengah mati, sampai cerita yang membuatku terharu hingga meneteskan air mata.
Untuk pasukan RDMku tercinta, anak-anak yang selalu aku banggakan, jangan pernah menyerah untuk belajar. Akan ada balasan untuk orang yang mau bersungguh-sungguh. Percayalah.
4 Januari 2012 (Ayu)